Monday, December 26, 2011

Hidup yang Erotik (* Merevitalisasi Kehidupan Modern dengan Semangat Purba)

EROS, erotik, erotisme. Tiga kata ini akarnya sama. Suasananya juga sama: gelora semangat purba yang atraktif dan menggoda. Menjijikkan bagi kaum saleh tapi menggairahkan bagi orang kebanyakan, kotor bagi para pemeluk teguh tapi merangsang bagi warga abangan, najis bagi umat alim tetapi tonikum vital bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat.

Kata Gafni, eros adalah energi vital yang suci. Eros dan spiritualitas ternyata berkaitan erat secara mendalam. Tegasnya, yang erotik dan yang kudus sebenarnya serupa dan sama. Maka, hidup yang erotik adalah hidup yang sakral. Bahkan, tanpa eros kesucian kita cuma ecek-ecek, tidak jenuin dari jiwa yang terdalam. Tanpa eros, kesalehan kita pura-pura saja, tidak meresap sampai ke batin. Tanpa eros, tatanan etika kita di semua tingkat: personal-interpersonal, profesional-organisasional, dan sosio-politikal cuma topeng-topeng saja, membebani dan mematikan gairah. Dan kita tahu, tatanan semacam ini akhirnya akan runtuh dari dalam meskipun dari luar terlihat masih utuh.

Hidup tanpa eros sepi dan kosong, yang ditandai dengan rasa resah melelahkan dan rasa bosan menekan. Tekanan ini berasal dari sebuah ruang hampa di hati manusia. Itulah hati yang sunyi-senyap dari gempita eros, yang hampa-kosong dari desah nafas eros. Lalu, untuk menghindari tekanan itu, orang lari ke berbagai kesibukan. Tapi sebenarnya kesibukan itu cuma sebuah laku penghindaran, avoidance–a-void-dance, sebuah tarian di sekitar kehampaan. Meski terlihat sibuk, sesungguhnya aktivitas non-erotik itu adalah sebuah tarian hampa, banal tanpa estetika. Dan untuk memenuhi kehampaan itu orang mencari berbagai jenis gratifikasi seperti pesta narkoba, seks suka-suka, atau kekerasan massal bergemuruh. Namun, lagi-lagi, sebenarnya tak ada pesta, tak ada sukacita. Sebab ternyata, usai acara, semua pemesta kembali ke dunia nestapa.

Gafni memberi metafora. Seekor lebah terperangkap dalam botol. Dari luar, ia tampak menari-nari penuh gairah, dari sisi ke sisi. Ia terbang meliuk-liuk, dari dasar ke puncak. Namun, dari dalam sungguh malang. Sebenarnya tak ada tarian gembira. Tak ada liukan bergairah. Yang ada cuma usaha tanpa harapan. Pelan tapi pasti, sang lebah mati perlahan. Tercekik lunglai kehabisan oksigen. Kata Gafni, begitulah gaya hidup tanpa eros yang dilakoni individu, keluarga, dan organisasi: palsu, menipu, lalu mati pelan-pelan.

Tapi, bagai nabi, Gafni berjanji. Ada gaya hidup baru untuk kita semua: hidup penuh sukacita kaya makna, hidup penuh cinta kaya warna, hidup penuh tari kaya dinamika. Di situ kita dimungkinkan menikmati setiap momen penuh isi. Tak lagi terisolasi, tapi terkoneksi. Tak lagi sepi sendiri, tapi larut berpartisipasi. Sesungguhnya kehidupan ini menawarkan kesembuhan bagi luka-duka-nestapa kita. Maka, jangan pedih lagi sebab tersedia senar bagi getar-getar ekstasi surgawi. Jangan perih lagi sebab terbuka akses bagi arus sukacita ilahi. Jangan sedih lagi sebab ada tarian baru: tarian eros yang penuh gairah dan cinta!

Siapakah Marc Gafni yang piawai berkata-kata indah mencekam ini? Dua buku, Soul Prints dan The Mystery of Love, bagai sepasang roket membubungkan nama Marc Gafni ke angkasa selebriti dalam atmosfer spiritualitas internasional, mirip kibar-kibar nama Aa Gym di Indonesia. Gafni kini tampil sebagai suara baru dalam bentara kerohanian di Israel, Eropa, dan Amerika. Ia memberikan banyak seminar tingkat pascasarjana tentang mistisisme dan spiritualitas di berbagai universitas dunia dan secara rutin di Oxford, Inggris. Gafni tak hanya diakui sebagai guru besar di bidang teks-teks kuno Yudaisme, tetapi juga empu dalam pemahaman dan penjelasan serat-serat hati manusia modern.

Marc Gafni dianggap sealiran dengan guru-guru spiritual dunia seperti Jalaludin Rumi, Scott Peck, dan Thomas More. Ciri utama mereka bukan fundamentalis bukan pula New Ager, tapi lebih bersifat ekumenis. Artinya, mereka berakar kuat dalam tradisi agama masing-masing, tapi cerdas menyapa jiwa umat dari berbagai agama lain. Mereka adalah peziarah lintas batas sehingga mampu berbahasa universal: bahasa hati dan cinta. Tak harus jadi Muslim untuk dicerahkan oleh Rumi. Tak harus jadi Protestan atau Katolik untuk dicerahkan oleh Peck atau More. Dan, tak harus jadi Yahudi untuk dicerahkan oleh Gafni. Membaca buku-buku mereka, kita merasa terterangi oleh filsuf cerdas yang bijak bestari.

Lahir dan besar di Massachusetts, Amerika Serikat, Rabbi Gafni memiliki gelar tertinggi di bidang filsafat. Gafni juga seorang pembicara inspirasional sehingga ruang-ruang kuliahnya selalu penuh. Bahasanya menggugah nurani. Intelektualitasnya kelas tinggi, tapi berbudi sangat pekerti. Ia sangat menguasai konsep-konsep biblikal yang diuraikannya dengan indah dan segar sehingga mampu menggerakkan hati sidang pendengarnya dari berbagai usia dan latar belakang. Orang disadarkan bahwa pesan-pesan teks-teks purba tersebut ternyata sangat relevan bagi kehidupan modern.

Pindah ke Israel, Gafni mendirikan Bayit Chadash, sebuah padepokan spiritual yang mendedikasikan diri pada renaisans Yudaisme. Gafni juga mengisi berbagai program dan kolom di televisi dan jurnal yang mengupas tuntas etika dan spiritualitas modern yang menyebarluas ke dalam budaya populer. Gafni juga adalah dekan dari Melitz Beit Midrash, sebuah think-tank yang berwatak pluralistik dan salah satu lembaga pemikiran tertua dan paling prestisius di Israel. Selain menulis empat buku teologi dalam bahasa Ibrani, dia juga mengarang dua buku best-seller berbahasa Inggris seperti disebut di atas. The Mistery of Love, buku sumber bagi tulisan ini, adalah sebuah buku serius tentang filsafat dan teologi, bukan novel tentang kisah cinta kawula muda.


Wajah-wajah eros
Dalam bahasa Ibrani, Eros adalah Shechinah, secara spiritual dipahami dan dialami sebagai Sang Feminin Agung: mother, daughter, and lover. Dialah sang penyayang dan pengasih yang membuat semua ciptaan merasa tenteram, puas, dan lelas. Shechinah berarti kehadiran di dalam, ’dia yang tinggal di dalam diri kita’. Dia merupakan energi ilahi yang tak hanya mengalir melalui kita, tetapi juga mengandung semua kita. Ia memelihara semua makhluk bahkan semua kehidupan dengan penuh kasih sayang, sensualitas, dan erotisme.

Bedanya, dalam konsepsi Yunani, eros berkarakter maskulin. Dikenal sebagai dewa kehidupan, cinta dan seks, Plato menyebutnya love plus. Eros merupakan daya kehidupan yang esensial– menggerakkan benda-benda langit bahkan semua kehidupan–tapi juga berbahaya karena bisa destruktif dan, kalau tak sanggup menjinakkannya, sebaiknya dihindari. Secara spesifik eros berkonotasi seksualitas, fertilitas, dan reproduksi.

Dalam spiritualitas Ibrani, yang erotik tidaklah semata-mata sinonim dari yang seksual, tetapi seluruh ekspresi kegairahan yang berkarakter ilahi dari dalam hati manusia yang dimodelkan oleh seksualitas. Secara umum eros adalah tarikan magnetik yang mengikat seluruh ciptaan dengan saling menghasrati menuju kesatuan yang utuh; pada elektron dan proton sehingga atom tercipta, pada sepasang kekasih sehingga anak terlahir, atau pada hati para mistikus sehingga ekstasi terjadi.

Namun, berabad-abad kemudian, kata erotik cuma berasosiasi dengan seksualitas saja. Yang seksual adalah sebagian dari eros, bagian yang sempit sekali. Penyempitan makna ini, dalam terminologi mistik Ibrani, disebut sebagai eros yang terbuang atau Shechinah dalam pembuangan. Istilah terbuang dan pembuangan diambil dari pengalaman sejarah bangsa Israel kuno yang pernah ditaklukkan dan ditawan Nebukadnezar, raja Babilonia. Bangsa yang terbuang merasakan hidup yang sepi, kosong, dan sesak, sehingga tak dapat berekspresi secara memadai.

Ke mana Shechinah atau eros terbuang? Jawabnya, ke wilayah seksual. Maka, jika seks adalah satu-satunya kegiatan di mana kita bisa erotik, artinya Shechinah berada di pembuangan. Dan jika gairah tinggi hanya bisa kita rasakan sesaat sebelum semburan orgasme, maka hidup kita sebenarnya amat miskin. Eros telah jatuh sebagai sinonim dari seks belaka. Artinya, kita sangat jauh dari gaya hidup erotik sejati.

Sekarang apa jati diri eros yang sejati itu, siapakah dia sesungguhnya? Menurut Gafni ada empat wajah eros.

Pertama, eros berarti berada di dalam. Terlibat secara erotik berarti masuk jauh ke dalam, terlibat total secara mendalam. Pada Bait Suci yang dibangun Salomo, di bagian paling dalam terdapat ruang Ruang Mahakudus. Dalam bahasa Ibrani ruang itu disebut lefnai lefnei ’yang di dalam dari yang di dalam’. Jadi, apa pun yang sungguh-sungguh mendalam atau paling dalam pada hakikatnya adalah suci. Di sini, lawan kata suci bukan cuma najis, tetapi juga dangkal, superfisial, atau permukaan. Dalam kuil kuno itu, adalah seksualitas–yang disimbolkan oleh sepasang kerubim di atas tabut perjanjian dalam postur saling berpelukan–yang menjadi model tentang bagaimana hidup secara erotik. Maka, semua aktivitas di mana kita mampu tenggelam total di dalamnya, dalam artian ini, merupakan aktivitas yang erotik dan kudus.

Eros mulai tereksitasi apabila kita menukik jauh sampai ke dalam, ke inti atau interior dari apa yang kita kerjakan sehingga energi nuklirnya terlepas dan meluluhkan kita bersama dengan aktivitas kita. Pada saat itu saya menyatu total dengan apa yang saya kerjakan. Saya bukan lagi penulis yang bersusah payah menulis tetapi telah lenyap menyatu dengan kegiatan menulis. Maka, saya adalah tulisan saya, dan tulisan saya adalah saya. Meminjam Gary Zukav, penulis The Dancing Wu Li Masters, An Overview of the New Physics, saya menari dengan eros!

Menari dengan eros berarti hidup dan mencintai secara erotik pada semua wilayah kehidupan kita. Itulah artinya hidup suci. Sebagaimana suci tak seharusnya dibatasi oleh keempat dinding rumah ibadah, maka eros juga seharusnya tidak boleh dibatasi oleh kelambu bilik tidur. Eros mestinya tampil utuh sebagaimana adanya, sebagaimana seharusnya. Itu berarti menikmati keunikan yang istimewa dari seorang teman, mencium seluruh aroma rumput dan bunga-bungaan, merasakan semua sensasi semilir angin, menikmati dahsyatnya rasa rindu yang mencekam, dan merasakan seluruh getaran jiwa bersama segenap wajah kehidupan. Itu berarti menikmati gulung-gemulungnya ombak cinta yang susul-menyusul bersama gelombang ekstasi yang meluluhkan tembok-tembok kemarahan, kesepian, dan ketakutan kita. Sungguh, eros adalah sumber kenikmatan tertinggi. Kenikmatan yang suci.

Kedua, eros berarti hadir sepenuhnya. Hadir berarti tampil penuh konsentrasi dalam sebuah percakapan atau kegiatan sehingga kita mampu memetik sukacita dan martabat darinya. Kita merasa penuh, tak lagi kosong. Dengan hadir, kita mampu melihat keunikan, kompleksitas, dan kekayaan satu sama lain, serta keagungan ultimatnya.

Hadir juga berarti menunggu pemunculan. Shechinah sudah menunggu kita. Eros berada di rumah, menanti kita agar segera masuk, menemuinya, dan menatap wajahnya dengan rasa takjub sepuas hati. Pada saat itulah kita merasa sampai di posisi dan kondisi yang kita harapkan. Jadi, eros adalah state of feeling di mana kita tak ingin lagi ke mana-mana karena sadar bahwa kita sudah di sana. Lawan dari eros ialah keterasingan, sebuah perasaan bahwa kita orang luar, tamu tak dinanti, orang yang tak diharapkan. Dalam kondisi erotik, kita menikmati kesalingterhubungan yang utuh-teguh yang mengakar tuntas dalam jaring-jaring kehidupan. Eros menyediakan ruang makna. Itulah kerja yang memuaskan, relasi yang menyukakan, kehidupan sosial yang menggairahkan, aktivitas yang membahagiakan. Kelaparan, keserakahan, korupsi, peperangan, serta berbagai bentuk kekerasan pada Bumi dan sesama, semuanya adalah buah dari tiadanya eros.

Eros adalah kemampuan mengakses keabadian yang terkandung pada sebuah momen. Itu berarti menikmati ketidakterbatasan total dari setiap momen yang mengalir. Maka, yang erotik dan yang kudus hadir penuh di saat kini, dalam waktu yang serasa berhenti, saat semua momen-masa-lalu dan momen-masa-depan menyatu lebur dalam sebuah kekekalan subyektif.

Ketiga, eros adalah hasrat atau keinginan. Dalam Yudaisme, hasrat, keinginan, dan kerinduan adalah ihwal yang suci. Eros adalah hasrat menjadi, memperoleh, dan menikmati. Karena merindulah, maka kita ada dan terus mengada. Karena mendambalah, maka kita menjadi dan terus menjadi. Selama di luar kita terpaksa mengabaikan dan memadamkan hasrat hati kita. Namun, saat di dalam, saat kita hadir sepenuhnya, maka kita dapat meraih semua yang kita dambakan dan impikan. Jadi, dalam kerinduanlah terdapat keajaiban eros. Itulah senar-senar hati yang terus bergetar sensasional karena dirangsang oleh apa yang kita hasrati sepenuh rindu. Diputus dari eros yang merindu berarti dibiarkan mati sendiri dalam kerontangnya gurun sepi yang tak kenal belas kasihan.

Depresi terburuk ialah depresi keinginan, yakni matinya hasrat. Dalam kondisi ini, kita tak menginginkan apa pun lagi, tak mau ke mana pun lagi, tak sudi bertemu siapa pun lagi, dan tak berselera makan apa pun lagi. Ketika hasrat yang autentik sudah tak ada lagi, maka itulah apatisme sejati. Orang demikian sedang menuju mati.

Keempat, eros ialah kesalingterhubungan dengan semua kehidupan. Rindu, keinginan dan hasrat selalu membisikkan bahwa kita saling terhubung. Kata religi (agama) berasal dari bahasa Latin, ligare, artinya hubungan. Tujuan religi dengan demikian ialah menghubungkan kembali semua kita. Niat agama ialah membawa kita ke ruang paling dalam di mana kita saling berhadap-hadapan, bertatapan muka, dan dengan begitu mengalami interkonektivitas batin dengan semua wajah realitas. Maka, memutus hubungan dengan eros adalah sebuah dosa. Dosa di sini adalah separasi dan isolasi, yaitu keterpisahan dari sumber kehidupan dan semua wajahnya. Dosa berarti keadaan yang tragis. Tak hanya bahwa kita kehilangan sumber sukacita terbesar, tetapi sekaligus memutuskan jejaring relasional kita dengan yang ilahi yang tanpanya seluruh tatanan kehidupan ini akan runtuh.

Gafni menyebut ajaran baru tentang eros ini sebagai tantra Ibrani. Dalam bahasa Sanskerta, salah satu makna kata tantra ialah memperluas. Jadi tantra Ibrani berarti memperluas dimensi eros, melampaui yang seksual, ke semua wilayah nonseksual kehidupan ini. Tegasnya, tantra Ibrani adalah sebuah cara menggunakan energi erotik untuk manunggal dalam cinta dengan yang arus ilahi yang setiap saat mengalir ke dalam dan melalui kita. Esensi ajaran ini ialah mentransformasikan seksualitas menjadi tuntunan penuh kasih sayang menuju kepenuhan, kesukaan dan kebahagiaan integral. Eros!


Eros dan imajinasi
Satu kualitas inti dari eros ialah imajinasi. Keistimewaan imajinasi terletak pada kemampuannya memberi bentuk pada kebenaran-kebenaran tinggi yang berasal dari realitas ilahi. Bahasa dan rasio tak memadai melakukannya. Namun, imajinasi mampu. Dan bagaikan nabi, imajinasi akan membawa pesan-pesan ilahi, berbicara, dan bernubuat kepada dan melalui kita. Dengan imajinasi yang erotik, kita dimampukan mengakses hikmat dan pimpinan Tuhan yang sangat kita perlukan dalam menavigasi kehidupan ke depan. Namun, mengapa kita begitu lemah mengimajinasikan Tuhan? Jawabnya, karena Shechinah berada di pembuangan. Erotisme berimajinasi sudah terbuang ke wilayah seksual. Orang umumnya mudah berfantasi seksual, tapi sangat sulit berimajinasi di wilayah nonseksual. Artinya, erotisme berfantasi telah impoten pada arena-arena lain kehidupan ini di luar yang seksual.

Kata fantasi berasal dari bahasa Yunani, phantasi, kata kerja yang berarti membuat tampak, menampilkan. Bagi orang Yunani kuno, berfantasi tak ada kaitannya dengan seks. Berfantasi artinya membuat dunia para ilahi tampak melalui imajinasi. Itulah alam spirit. Itulah dunia bentuk murni. Kita hampir tak pernah berfantasi ekonomi, berfantasi sosial, atau berfantasi politik. Namun, berfantasi seksual sering, sepanjang waktu malahan. Seperti eros, fantasi pun telah terbuang ke lembah seksual. Karenanya, kita pun kehilangan kemampuan membuat tampak, membayangkan, mengimajinasikan, dan mengembangkan visi-visi yang agung dan orisinal di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Pemiskinan imajinasi yang erotik adalah terbuangnya Shechinah.

Krisis terbesar bukan ekonomi, politik, bahkan bukan moral. Namun, krisis imajinasi. Orang kepentok pada jalan buntu karena tak mampu mengimajinasikan ulang hidupnya secara berbeda dari apa yang sekarang dijalaninya. Status quo dipegang erat-erat karena takut pada bayang-bayang ketidakpastian. Padahal, prasyarat bagi pertumbuhan ialah kesediaan untuk melepaskan siapa aku sekarang demi meraih siapa aku esok dengan cara membuang hal-hal yang sudah akrab tapi sebenarnya tak lagi berguna. Namun, ini hanya mungkin dilakukan jika kita berani berjalan sampai ke tubir-tubir ketidakpastian.

Kadang ini berarti meninggalkan kampung halaman dan merantau ke negeri orang. Namun, perantauan sejati tak harus berarti perpisahan dramatik dengan rumah dan masa lalu kita. Ia lebih merupakan perantauan imajinasi. Imajinasi adalah perkakas untuk merancang masa depan yang secara radikal berbeda dengan masa lalu dan hari ini.

Hanya dalam fantasi dan reimajinasilah kita dapat mengubah realitas kita. Dari dunia internal inilah kita mengubah dunia eksternal kita. Inti hampir setiap krisis adalah sebuah kegagalan berimajinasi. Tanpa lompatan imajinasi, tak ada kemajuan sejati, dan spirit kehidupan pun bakal mati sesak di bawah naungan tempurungnya yang lusuh dan rapuh.


Eros and etos: lingkaran dan garis
Dalam sejarahnya, terutama di masa lampau, eros purba yang dipraktikkan bangsa-bangsa kafir tampil dalam bentuk ritus-ritus tanpa etika, di mana pada puncak ekstasi ibadah mereka, manusia, terutama anak-anak, dikorbankan di atas mezbah-mezbah para dewa yang diiringi dengan pesta orgial yang dahsyat. Yahwe melalui nabi-nabiNya selalu melarang orang Israel mengikuti ibadah-ibadah demikian. Namun, lebih banyak tak berhasil. Sejak Salomo sampai pada waktu pembuangan ke Babel, pada sebagian besar kurun sejarah itu, mereka terpengaruh dan terjatuh ke dalam ibadah-ibadah kafir yang dicirikan oleh erotisme purba itu. Barulah sejak kembali dari Babel diadakan reformasi keagamaan dan sosial di bawah pimpinan Esra dan Nehemia.

Pertanyaannya, mengapa bangsa yang dilengkapi dengan etika biblikal, yaitu hukum-hukum Taurat, bisa jatuh ke dalam eros yang nonetis? Jawabannya, ketika eros dan etika bertentangan secara superfisial, maka eros selalu menang. Gafni mengibaratkan moralitas eros sebagai lingkaran dan moralitas etika sebagai garis. Dalam lingkaran murni, yaitu eros rendah, terdapat energi purba yang dahsyatnya tak mungkin dilawan justru karena dalam pusaran ekstasi eros tersebut orang mengalami keutuhan yang menyeluruh secara dahsyat. Sebaliknya moralitas garis, yaitu moralitas hukum dan etika, yang sebenarnya bertentangan dengan nature kemanusiaan kita, akan selalu gagal memenuhi tuntutan kontrak-kontraknya.

Jadi, bagaimana sebenarnya hubungan antara eros dan etos? Jawabnya, seperti hubungan dua wajah koin yang sama. Pada analisis terakhir, tatanan etika dan hukum, tanpa eros, akan runtuh berkeping-keping. Kegagalan etika terjadi karena eros tidak menjiwainya. Tegasnya, etika yang tidak berakar teguh pada eros akan runtuh karena, bagaimanapun, bagaikan satelit yang secara abadi di bawah pengaruh gravitasi Bumi, jiwa manusia pun selalu merindu sangat berat pada eros, selamanya.

Namun, jika etika kita pelajari dan dalami secara serius sampai ke level hakikat, maka kita akan bertemu dengan eros yang menyala-nyala dan selanjutnya akan berfungsi menjadi energi dalam penghayatan dan ekspresi etika itu sendiri. Pada saat inilah etika menjadi etos. Etika tidak lagi hanya sekumpulan norma tertulis tetapi sudah menjadi praktik nyata. Etika tak lagi sekadar huruf-huruf yang tertulis di atas kertas, tetapi tertulis di hati kita. Pada saat itu pula etos menjadi ekspresi erotik dari diri ilahi kita. Agar etika bisa dahsyat dan berwibawa, ia harus merupakan pengejawantahan erotik dari diri ilahi kita, bukan berkontradiksi.

Etika akan mati tanpa eros dan eros tidak bisa hidup tanpa etika. Tujuan akhirnya adalah integrasi. Yang erotik dan yang etis, lingkaran dan garis, harus menyatu-padu sebagai ekspresi total kemanusiaan kita dalam lingkungan kehidupan ini. Eros harus diekspansikan ke wilayah etika bahkan ke seluruh wilayah kehidupan kita. Dengan demikian, kita dimungkinkan menciptakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh keadilan yang erotik, kebenaran yang erotik, dan kebajikan yang erotik.

Jansen H Sinamo, Direktur Institut Darma Mahardika, Jakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/06/Bentara/1298903.htm

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...